Sabtu, 02 April 2011

my poem


Menunggu
(Oleh Tyas Sri Utami)
Senantiasa kudengar
Dendang kekuasaan menggema
Sesak, memenuhi segala ruang dan penglihatan
Tanpa sapa
Tanpa senyum
Tanpa toleh
Tanpa dengar
Tanpa peduli
Dan sekian tanpa...
Kau terlihat begitu asyik
Entah apa yang kau lakukan di sana
Di kursi mungil nan cantik dalam ruang kaca eksklusif
Tidakkkah kau tahu?
Angin di luar masih begitu bersahabat
Andai sebentar saja kau buka pintu ruangmu
Tentu kau akan mengerti dan bisa merasakannya
Banyak jerit tangis menunggu uluran tanganmu
Banyak suara tuntut keadilanmu
Kini, tawa kecewa menggema dimana-mana
Tak lebih...
Hanya kecewa yang dirasa
Menunggumu untuk sejenak keluar
Untuk bisa bersama menimang birunya langit
Serta cerahnya mentari



Pernahkah
(Oleh Tyas Sri Utami)


Pertanyaan yang senantiasa terngiang
Mengusikku dalam nyenyak
“pernahkah?”
Ya... pernahkah...

Pernahkah kau menyusuri pantai kehidupan
Negeri yang ada dalam genggamanmu kini
Adakah mereka senantiasa dalam senyum
Atau dalam tangis derita dan sengsara
Pernahkah kau berbicara dan bercumbu dengan alam semesta
Kenapa alam begitu murka akhir-akhir ini
Ramah menyapa dan menyapu kehidupan negeri
Pernahkah kau bertanya pada malam
Kenapa wajahnya temaram dan bulan tak lagi tersenyum

Dalam tanyamu
Tak semerta semua kan menjawab
Cukup jawab dengan amanahmu


Tak Akan
(Oleh Tyas Sri Utami)


Pagi ini masih dalam reguk kuasamu
Dalam bius manis ocehmu
Semua katakan “iya”
Oleh seribu janji berlapis sutramu
Senyummu saat itu mengembang
Memayungi segala pinta dan asa

Kini perlahan terik mulai naik
Pagi itu tak lagi ada
Dari balik kaca kuintip
Sedang apa kau di sana?
Sampai matahari hampir tenggelam dalam malam
Tak kulihat jua kau datang membawa janji itu

Oh...
Hanya pagi dalam mimpi
Kapan kau akan datang dalam pagi secerah waktu itu?
Rupanya bukan lagi pagi yang datang menjawab
Tapi bulan dalam murungnya malam
Apa jawabnya?
“tak akan”


Jamah Kami
(Oleh Tyas Sri Utami)


Berpuing kisah berserakan
Terombang-ambing asa
Tersingkir oleh sebuah hantaman realita
Tak ada tempat mengiba
Ke barat mereka berlari
Ke timur mereka mengadu menguras air mata
Ke selatan mereka meraung berbagi derita
Ke utara mereka menjerit mengentaskan segala kesah
Ke segala arah mereka meluapkan rasa dan beribu kecewa

Tak ada suara
Semua bungkam
Bahkan seringkali buta, tuli, dan bisu oleh keadaan
Dimana mereka?
Kuingin mereka juga menjamah

Mimpi...
Dahulu,… masih kuingat betul
Ketika kudengar suara yang kuharap mampu
Membangunkan mereka dari mimpi buruk sepanjang masa
Tapi...
Mimpi tetaplah mimpi
Sebatas bunga tidur
Bahkan sesuap nasi tetaplah mimpi manis di tengah pahitnya lara

Tuhan
Kepada siapa harus mengiba?
Ketika berjuta mulut menganga
Tersumbat mimpi manis yang tak pernah terbaca
Di sanakah tempat mereka?
Tempat yang dihiasi kumuhnya sekitar
Beratap langit, tanpa alas dan sekat ruangan
Dengan pengharum ruangan serba anyir

Tak ada tempat mengais rezeki
Sementara hanya waktu pendamping setia
Mengadu nasib
Walau harus berperang dengan terik matahari

2 komentar:

  1. "MANTAP NYA SUARA HATI SEORANG KEKASIH"

    BalasHapus
  2. bukan suara hati seorang kekasih melainkan kritik sosial kepedulian, he he he

    BalasHapus